TEOLOGI SAMPAH : IMPLEMENTASI DARI KEHIDUPAN PARA PEMULUNG WAIRII
1.
GAMBARAN
UMUM TENTANG PENELITIAN DAN KEHIDUPAN PARA PEMULUNG WAIRII
1.1 Gambaran Tentang
Penelitian
Kami
melakukan penelitian terhadap para pemulung Wairii (jumlah: 12 orang) pada
tanggal 02 September 2015 dari pukul 08.00 sampai 15.WITA sesuai dengan jam
kerja para pemulung. Metode yang kami gunakan adalah observasi partisipatif
yaitu dengan bekerja bersama para pemulung dan juga dengan wawancara. Wawancara
kami lakukan pada saat istirahat makan siang.[1]
1.2 Gambaran Tentang Lokasi
Para pemulung Wairii yang kami maksudkan dalam
makalah ini adalah para pemulung yang bekerja di Tempat Pembuangan Akhir (TPA)
yang berlokasi di Wairii, sebuah lokasi yang terletak di perbukitan gersang
sebelah selatan jala raya pantura. Bila dilihat dari sisi tilik wilayah
administratif pemerintah, TPA ini berada di kelurahan Nangahure, kecamatan Alok
Barat, kabupaten Sikka, namun bila dilihat dari sisi tilik wilayah
administratif pelayanan Gereja, TPA ini terletak di wilayah Paroki Magepanda,
namun para pemulung yang bekerja pada TPA ini berdomisili di sekitar stasi
Waturia, Paroki Nangahure.
1.3 Gambaran Tentang
Kesadaran Politik
Satu hal yang patut dibanggakan dari para pemulung
wairii adalah keaktifan mereka dalam mengikuti setiap pesta demokrasi yang
diselenggarakan baik untuk tingkat daerah maupun nasional. Namun, di balik
kebanggaan itu terbersit sebuah keprihatinan besar yang cukup mengganggu yaitu
keaktifan tersebut berangkat bukan dari sebuah kesadaran dan pengetahuan
politik yang benar. Mereka memilih berdasarkan alasan kekeluargaan dan suku
(primordial) dan diperparah oleh moral para politisi yang sangat rendah dengan
yang mempraktekkan money politic.
Kedua hal ini menyebabkan mereka tidak memilih pemimpin yang berkomitmen untuk
membantu mereka keluar dari kemiskinannya.
1.5 Gambaran Tentang Relasi
Sosial
Dalam kehidupan sehari-hari, para pemulung
senantiasa membangun relasi sosial yang baik, baik di antara para pemulung
sendiri maupun dengan para tetangga mereka yang bukan bekerja sebagai pemulung.
Khusus terkait dengan relasi ke dalam, para pemulung terlebur dalam sebuah
relasi kekeluargaan yang sangat kental, meskipun mereka datang dari tempat asal
yang berbeda-beda. Hal ini menyebabkan mereka memiliki rasa solidaritas yang
baik. Hal ini tercermin dari sikap saling menolong dalam menghadapi
kesulitan-kesulitan hidup.
1.6 Gambaran Tentang
Kehidupan Religius
Semua pemulung Wairii adalah umat paroki Nangahure.
Dari pengakuannya, kami menemukan bahwa ternyata mereka adalah orang katolik
yang taat beragama. Mereka tidak pernah bekerja pada hari minggu dan selalu
menyempatkan diri untuk mengikuti perayaan ekaristi pada hari minggu. Di antara
para pemulung bahkan ada yang menjadi pengurus dalam KBG. Selain itu mereka
juga bertanggung jawab dalam menjalankan tugas-tugas yang diberikan pengurus
stasi kepada mereka seperti menanggung koor pada perayaan-perayaan besar.
2.
PENILAIAN
SEKILAS TENTANG KEHIDUPAN PARA PEMULUNG
2.1 “Yang Terbuang Justru
Membawa Keuntungan”
Pekerjaan sebagai pemulung adalah sebuah pekerjaan
yang menjijikkan bagi kebanyakan orang. Sebagai pekerjaan yang menjijikan
banyak orang pula tidak pernah mengimpikan atau memilihnya sebagai sumber
pendapatan bagi diri atau keluarganya. Seperti kebanyakan orang itu, para
pemulung Wairii juga tidak pernah mengimpikan pekerjaan itu, namun karena
situasi ekonomi keluarga yang sangat tidak menguntungkan maka mereka terpaksa
memilih dan menekuni pekerjaan sebagai pemulung itu. Pilihan karena situasi
terjepit memaksa mereka berusaha sekuat tenaga menyesuaikan diri dengan
pekerjaan dan berusaha menepis cara pandang masyarakat yang menanggap pekerjaan
sebagai pemulung sebagai pekerjaan yang hina.
Jika dilihat dari sudut pandang ekonomi, mereka
kelihatan cukup kreatif dalam mencari nafkah bagi keluarganya. Kondisi alam dan
cuaca yang tidak bersahabat yang membuat lahan pertanian mereka kering
kerontang sehingga mereka tidak berdaya untuk mengolahnya tidak membuat mereka
kehabisan akal untuk mencari pekerjaan yang mendatangkan uang. Kesulitan tidak
mematahkan semangat mereka dalam mencari solusi atas permasalahan hidup yang
senantiasa mendera. Pada titik ini, kami menilai justru kehadiran mereka
menjadi satu bentuk kritikan pedis bagi para penganggur (baik yang nyata maupun
terselubung) yang pasif dan tidak kreatif dalam mencari pekerjaan.
Di balik semua itu, satu poin penting yang tampak
secara nyata dari pekerjaan para pemulung adalah bahwa yang terbuang oleh
masyarakat (sampah) justru membawa keuntungan ekonomi. Sampah sebagai sesuatu
yang tidak berguna sebenarnya masih memiliki kegunaan yang tidak disadari dan
akhirnya membawa keuntungan ekonomis. Meskipun keuntungan ekonomisnya sangat
kecil, para pemulung memanfaatkannya untuk menopang ekonomi keluarga yang
terseok-seok diterpa penindasan terselubung kaum kapitalis. Keuntungan yang
kecil ini tidak meredukan semangat mereka untuk terus bekerja tidak kenal lelah
karena memang inilah satu pilihan terbaik bagi mereka untuk menopang hidup
mereka dan anak-anak mereka.
2.2 Kebaikan Allah Yang
Ditemukan Di Tempat Sampah
TPA Wairii merupakan tempat penampungan akhir
seluruh sampah dari kota Maumere. Setiap hari ada sekitar tujuh buah truk
sampah milik pemerintah mengangkut sampah dari seluruh pelosok kota Maumere ke
tempat ini. Dari tujuh truk inilah para pemulung memperoleh barang-barang bekas
(yang menurut kebanyakan orang sebagai sampah) yang akan dikumpulkan dan
kemudian dijual untuk mendapatkan uang. Bagi kebanyakan orang, sampah adalah
sesuatu yang sangat menjijikan dan tidak berguna, namun bagi para pemulung
justru sampah meskipun menjijikan, namun membawa faedah bagi kehidupan mereka.
Menurut pengakuan beberapa warga kota Maumere,
tempat sampah Wairii tidak banyak diketahui oleh warga kota Maumere. Mereka
hanya mengenal truk pengangkut sampah, tapi tidak pernah mengetahui tujuan
sampah-sampah itu dibuang dan juga tidak mengetahui bahwa ada orang yang
mengais rejeki dari sampah yang mereka buang.[2]
Dari pengakuan mereka jelas terlihat bahwa TPA Wairii dan juga para pemulung
yang bekerja di dalamnya sama sekali tidak diperhitungkan oleh kebanyakan
orang, namun para pemulung tidak pernah mempermasalahkan hal itu. Bagi mereka,
meskipun banyak orang merasa sampah menjijikan, meskipun banyak orang tidak
mengenal dan menaruh simpati pada nasib mereka, mereka tetap menekuni
pekerjaannya karena mereka sadar bahwa Allah masih masih mencintai mereka
dengan memenuhi kebutuhan hidup harian meskipun dengan susah payah.
Lebih jauh, para pemulung menyadari bahwa Allah
memberi rejeki kepada mereka melalui sampah-sampah yang mereka kumpulkan itu.
Mereka menemukan kenyataan bahwa Allah tetap mencintai mereka dengan memberikan
cara halal untuk memperoleh uang demi memenuhi kebutuhan hidup mereka. Karena
kesadaran inilah maka para pemulung senantiasa menyempatkan diri untuk
bersyukur kepada Tuhan melalui perayaan ekaristi pada hari Minggu. Para
Pemulung mengakui bahwa mereka memiliki kebiasaan untuk tidak bekerja pada hari
Minggu. Selain untuk alasan istrirahat, para pemulung mengakui bahwa mereka
sadar bahwa Allah yang sudah berbaik hati kepada mereka patut dipuji dan
kebaikan Allah yang sudah diterima itu patut pula disyukuri pada setiap
perayaan hari Minggu. Oleh karenanya tidak ada alasan yang terlalu masuk akal
untuk tidak mengikuti perayaan ekaristi pada setiap hari Minggu dan hari raya
lainnya.[3]
3.
CATATAN
KRITIS ATAS KEHIDUPAN PARA PEMULUNG
3.1 Pemulung: Pekerjaan
Yang Luhur Namun Tidak Menjanjikan
Dalam proses wawancara dengan para
pemulung, para peneliti merasa kagum dengan kepolosan mereka dalam menceritakan
tentang pekerjaan, kehidupan keluarga dan semua hal yang berkaitan dengan
realitas hidupnya. Satu kepolosan yang cukup menarik dari para pemulung
terungkap dari ucapannya:”frater kami
senang dengan pekerjaan ini, meskipun sulit, kami tetap mendapat uang darinya”.[4]
Ungkapan di atas menggambarkan
bahwa mereka cukup “in” dengan
pekerjaannya karena mereka mendapat uang dari pekerjaan itu. Mereka menemukan
keluhuran dan makna positif dari pekerjaan mereka. Para peneliti menyadari
bahwa mereka sedikitnya telah mengimplikasikan poin penting yang dicetus oleh
Paus Yohanes Paulus II dalam ensiklik Laborem Exercens.[5]
Namun di balik semua itu para peneliti justru merasa prihatin dengan ungkapan
ini. Keprihatinan peneliti muncul bukan karena para peneliti merasa jijik
dengan pekerjaan mereka, namun karena peneliti menilai bahwa ungkapan tersebut
berangkat dari kepasrahan dan keputusasaan mereka dalam perjuangan mendapatkan
keadaan hidup yang lebih baik dan sejahtera.
Tabel a.3 di atas memperlihatkan
suatu gambaran mengenai keadaan ekonomi keluarga para pemulung yang tidak
sejahtera. Para peneliti menggambarkan keadaan ekonomi mereka dengan ungkapan
ini: “besar pasak daripada tiang”, lebih besar pengeluaran daripada pemasukan. Pemasukan
dan pendapatan yang kecil memaksa mereka untuk menggunakan semua pemasukan
bulanan hanya untuk konsumsi semata. Ketika biaya sekolah anak yang menjadi
prioritas, maka belanja makan minum dihentikan. Hal ini berarti mereka harus
kelaparan. Keadaan ekonomi yang seperti itu sangat tidak menjanjikan sebuah
masa depan yang baik dan sejahtera.
3.2 Para Pemulung Adalah
Mereka Yang Terjerat Dalam Kemiskinan Struktural
Bila
ditelaah dari penyebabnya, kemiskinan dapat dibedakan menjadi dua yaitu
kemiskinan individual dan kemiskinan structural. Kemiskinan individual
disebabkan oleh karena kemalasan, tidak kompetitif, tidak tekun dan tidak
disiplin sedangkan kemiskinan structural disebabkan oleh kekuatan lain yang
menindas atau dengan kata lain struktur social menjadi penyebab kemiskinan itu.[6]
Berdasarkan telaah yang mendalam, peneliti menyimpulkan bahwa sesungguhnya para
pemulung masuk dalam kelompok kemiskinan structural. Para pemulung menyadari
sepenuhnya akan ketidakberuntungan mereka, namun mereka tidak bisa berbuat
apa-apa. Meskipun mereka memiliki semangat kerja yang tinggi, namun mereka
tidak memiliki satu kekuatan untuk mengubah keadaan mereka. Ada kekuatan lain
yang mengendalikan. Para peneliti justru menemukan bahwa kekuatan lain itulah
yang menjadi akar masalah atau penyebab ketidakberuntungan mereka. Di bawah ini
peneliti memaparkan beberapa kekuatan itu:
·
BIDANG EKONOMI EKONOMI
Penentu harga barang bekas yang dijual oleh para
pemulung adalah “mas jawa” yang merupakan kaki tangan dari elit ekonomi di
Maumere. Para pemulung tidak memiliki kekuatan untuk melobi atau menentukan
standar harga. Harga sembako juga sangat ditentukan oleh pasar. Dalam keadaan
seperti ini, para pemulung berada pada posisi yang sangat tidak menguntungkan
·
BIDANG
POLITIK POLITIK
Berdasarkan pengakuan para pemulung, mereka hanya
satu kali menerima bantuan pemerintah daerah yaitu pada tahun 2011. Bantuan
yang diberikan bukan untuk hal produktif yang bisa membantu kegiatan ekonomi
pemulung tetapi konsumtif (beras dan sari mie). Para pemulung menyadari bahwa
karena jumlah mereka sangat sedikit, maka pemerintah tidak pernah memperhatikan
mereka karena pemerintah memainkan politik balas budi.[7]
·
BIDANG
RELIGIUS
Gereja
memang tidak menjadi penyebab kemiskinan para pemulung, namun berdasarkan
pengakuan para pemulung, Gereja tidak memiliki pastoral khusus bagi mereka.
Mereka hanya mengikuti misa mingguan dan katekese namun berdasarkan tema yang
ditentukan keuskupan dan paroki yang notabene kurang bersentuhan dengan masalah
mereka. Dengan kata lain, Gereja tidak menyusun program yang menjawabi
kebutuhan umat. Dalam hal ini peneliti menilai bahwa Gereja mengabaikan kawanan
kecil gembalaannya yang sebenarnya membutuhkan pelayanan pastoral yang khas dan
sesuai dengan situasi dan kondisi mereka.
3.3 Para Pemulung Adalah
Korban Yang Harus Ditolong
Berdasarkan pemaparan tersebut di atas
menjadi jelas bahwa para pemulung adalah orang-orang yang berada dalam situasi
yang sangat memprihatinkan dan lebih memprihatinkan lagi bahwa mereka tidak
memiliki kekuatan yang cukup untuk menolong dirinya sendiri. Sampai pada titik
ini, kelompok sampai pada kesimpulan bahwa mereka adalah korban dan korban yang
harus ditolong. Siapa yang bisa menolong mereka?
Para pemulung adalah masyarakat Negara
dan umat Gereja. Dari pernyataan ini jelas bahwa yang menolong mereka adalah
Negara (pemerintah) dan Gereja. Namun pada makalah ini, peneliti hanya
meneropong peran Gereja dalam menolong para pemulung yang adalah korban
struktur yang menindas. Pada titik ini kembali muncul pertanyaan penting, bagaimanakah
persisnya peran Gereja dalam membela dan menolong korban berhadapan dengan
struktur yang memiliki kekuatan super?
4.
MENCARI
MODEL TEOLOGI YANG COCOK BAGI PERJUANGAN PARA PEMULUNG
4.1 Perjuangan Para
Pemulung Harus Didukung Sepenuhnya Oleh Gereja[8]
Kemiskinan
yang dialami para pemulung adalah wujud nyata dari sebuah bentuk penindasan
pada zaman modern. Mereka adalah korban dari sebuah bentuk penindasan
terselubung. Gereja dipanggil untuk mendukung dan membela mereka. Ada dua
landasan bagi dukungan yang menjadi panggilan bagi Gereja dalam konteks masalah ini:
Landasan Biblis
Kemiskinan
yang disebabkan oleh kekuatan lain yang menindas sebenarnya sudah mulai terjadi
dunia ini sejak perjanjian lama. Ada banyak contoh yang bisa diambil, namun
salah satu perikop Perjanjian Lama yang menggambarkan hal ini adalah Ayub
24:2-12 (Sikap Allah terhadap kejahatan). Berhadapan dengan realitas penindasan
yang melahirkan korban yang miskin, Gereja dipanggil untuk membela mereka.
Selanjutnya Ams 2:6-22 (Faedah dari menuntut hikmat) memberi penguatan bagi
Gereja dalam karya kerasulannya membela kaum tertindas. Gereja telah mendapat
hikmat dan pengetahuan yang baik dan menjadi penjaga moral, karena itu Gereja
tahu dengan baik mana hal-hal yang benar dan mana yang jahat. Gereja,
berdasarkan hikmat dan kebijaksanaan moral yang dimilikinya diminta untuk
menyuarakan kebenaran itu untuk membela kaum yang lemah.[9]
Gereja dipanggil untuk menyerukan suara profetisnya mengeritik kejahatan dan
sekaligus membela korban dengan sekuat tenaganya sebagai perwujudan imannya.
Selanjutnya,
dalam Perjanjian Baru, Yesus memperkuat panggilan Gereja untuk membela kaum
miskin dan tertindas. Yesus mengamini nubuat nabi Yesaya tentang perutusan-Nya
ke dunia ini untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin (Lukas
4:18). Gereja sebagai persekutuan orang yang mengimani Kristus pun harus meneladani
Kristus. Gereja dipanggil untuk membawa kabar baik kepada orang-orang miskin.
(eksegeses tentang kabar baik)Semua hal ini menjadi sebuah perwujudan iman akan
Yesus yang konkret.
Namun,
dalam perjalanan hidupnya Gereja seringkali jatuh perwujudan iman yang keliru
yaitu perbuatan amal yang memandang bulu. Rasul Yakobus dalam suratnya (Yak
2:1-13) mengeritik hal ini. Pelayanan tidak pernah boleh memandang muka. Gereja
dipanggil untuk melayani semua orang tanpa perlu memandang stasus social dan
keadaan ekonomi seseorang. Dalam hal ini martabat kaum miskin diangkat pada
tataran yang luhur. Kaum miskin adalah juga murid Kristus yang karena
eksistensinya sebagai manusia wajib dicintai. Inilah wujud iman yang benar.
Landasan Ajaran Sosial Gereja
Panggilan
Gereja untuk mendukung dan membela kaum miskin juga mendapat perhatian lebih
dalam beberapa dokumen Ajaran Sosial Gereja. Dalam paper ini kelompok merasa
tertarik dengan pernyataan Lumen Gentium Art. 1 yang menegaskan, kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan
orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita,
merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga.[10] Kelompok
berpikir bahwa ini menjadi salah satu landasan yang kokoh bagi perjuangan
Gereja mendukung dan membela kaum miskin. Para murid Kristus (Gereja) dipanggil
untuk turut merasakan apa yang dirasakan oleh dunia, oleh orang-orang yang
hidup di dunia ini. Paus Fransiskus sangat nyata mendukung panggilan Gereja
untuk keluar dari kemapaman diri untuk turun ke jalan-jalan menemui fakir
miskin. Paus Fransiskus mengatakan: “…….” Gereja diharapkan tidak menjadi
sebuah menara gading yang terlepas dan menghindar dari persoalan-persoalan
masyarakat dunia dewasa ini, tetapi Gereja yang kotor dan kumuh karena bergaul
dan hidup bersama kaum miskin dan memperjuangkan nilai-nilai keadilan dan
kemanusiaan bersama dengan mereka.
Landasan biblis dan Ajaran Sosial Gereja di
atas menjadi spirit yang menguatkan dan menyemangati Gereja dalam aksi option for the poor. Spirit yang membara
dalam membela dan mendukung kaum miskin ini diharapkan pada gilirannya
melahirkan tindakan-tindakan konkret sebagai wujud bantuan yang adalah implementasi
dari rasa solidaritas yang nyata.
4.2 Para Pemulung Tidak
Hanya Boleh Berharap Tapi Harus Berjuang
Bantuan
yang merupakan implementasi nyata dari solidaritas Gereja merupakan sesuatu
yang menjadi keharusan bagi Gereja. Gereja dalam hal ini telah menjadi pribadi
Kristus yang hadir langsung memberikan bantuan dan pertolongan. Dalam hal ini
perlu disadari bahwa Gereja hadir menolong bukan dalam relasi Subyek-Obyek,
tetapi dalam relasi Subyek-Subyek. Kaum miskin tidak pernah boleh dianggap
sebagai obyek yang seolah-olah tidak memiliki daya dan upaya untuk menolong
dirinya sendiri. Gereja harus hadir sebagai rekan yang menolong kaum miskin
yaitu rekan semartabat yang masih berada dalam posisi yang kurang
menguntungkan. Gereja harus menyadari bahwa kaum miskin adalah rekan yang
memiliki martabat yang sama karena eksistensi kemanusiaannya dan karena
panggilaan kemuridannya. Dalam hal ini, untuk mewujudkan rasa solidaritasnya
Gereja menggunakan prinsip subsidiaritas.
Menjalankan
prinsip subsidiaritas berarti menghargai kapabilitas setiap individu atau
kelompok dalam masyarakat untuk mengatasi masalahnya sendiri dengan usahanya
sendiri dan Gereja hadir memberi bantuan seperlunya.[11]
Peran Gereja dalam hal ini terutama untuk memberi pencerahan dan pemahaman
mengenai situasi penindasan yang mereka alami. Setelah mereka paham akan
situasi mereka, Gereja memberi semangat untuk mengatasi masalah mereka dengan
menggunakan segala potensi yang mungkin untuk dimanfaatkan. Pencerahan ini
dilakukan seraya memberikan solusi-solusi kreatif yang dapat diambil untuk
menata kehidupan yang lebih baik.
Prinsip
subsidiaritas ini diharapkan menjadi sarana penyadaran bagi para pemulung bahwa
mereka sebenarnya masih memiliki kekuatan dan potensi untuk keluar dari situasi
kemiskinan yang dihadapinya. Menurut peneliti, kesadaran seperti ini pada
akhirnya menghapus atau menghilangkan sikap pasrah pada keadaan karena
menganggap bahwa keadaan mereka tidak tertolong lagi sehingga tidak ada pilihan
lain selain menjadi pemulung yang miskin.
Dalam
penelitiannya, kelompok menemukan beberapa hal positif yang ada dalam diri para
pemulung yaitu semangat kerja yang tinggi, ketekunan, keuletan, kerja sama dan tidak
mudah mengeluh. Beberapa hal positif ini adalah potensi dan kekuatan yang
menjadi modal bagi Gereja untuk mengimplementasikan solidaritasnya melalui
prinsip subsidiaritasnya. Para pemulung sudah memiliki hal-hal positif dan
Gereja hadir memberikan solusi kreatif yang memanfaatkan modal dasar ini dalam
perjuangan bersama para pemulung mengubah keadaan hidup mereka yang miskin.
4.3 Sampah Menjadi Dasar
Pijak Berteologi (Teologi Sampah)
Dua
poin yang telah dipaparkan di atas menyoroti dua subyek penting dalam sebuah teologi
kontekstual yaitu Gereja dan pemulung sendiri, teologi yang menggambarkan
bagaimana Gereja memainkan perannya untuk membela para pemulung. Konteks yang
menjadi ciri dan sekaligus menjadi warna khas dalam relasi kedua subyek itu adalah pekerjaan pemulung yang tidak
lepas dari sampah. Sampah dalam hal ini memainkan peran penting. Karena sampah
adalah pemberi warna dasar bagi teologi dalam konteks pemulung Wairii, maka
peneliti dengan berani menyodorkan sebuah model berteologi dengan nama Teologi
Sampah. Menurut hemat kelompok, sampah adalah dasar pijak refleksi
teologi yang dapat dengan muda dipahami oleh para pemulung. Dengan demikian
refleksi teologis yang dijalankan oleh para peneliti dengan mudah dipahami oleh
para pemulung dan dengan mudah pula mereka berteologi dalam konteks perjuangan
hidupnya.
Teologi
Sampah ini memiliki dua implikasi penting bagi dua subyek yang berada dalam
relasi komplementer. Dua Implikasi tersebut digambarkan sebagai berikut
Bagi gereja
Gereja
dipanggil untuk membela dan menolong kaum miskin dan kaum yang tertindas serta
yang terbuang dari masyarakat. Dalam konteks Teologi Sampah, kaum tertindas,
kaum miskin dan kaum yang terbuang dari masyarakat adalah para pemulung Wairii.
Gereja dipanggil untuk menolong dan membela mereka mereka. Dalam konteks para
pemulung ini, Gereja dipanggil untuk menjadi pemulung. Pemulung dalam pandangan
masyarakat adalah pekerjaan hina namun Gereja harus menjadikannya sebagai opsi
utama. Gereja harus meninggalkan status quo dan kenyamanan untuk menolong dan
membela para pemulung yang dianggap sebagai “sampah” oleh kebanyakan orang
lantaran hinanya pekerjaan mereka.
Bagi pemulung
Sampah
adalah bagian yang tidak pernah terlepas dari kehidupan para pemulung. Meskipun
masyarakat menganggap sampah itu tidak memiliki faedahnya sama sekali, namun
bagi para pemulung sampah itu menjadi sumber uang yang bisa menghidupi keluarga
mereka. Kesadaran ini bisa diimplementasikan secara langsung dalam pemahaman
para pemulung. Seperti sampah yang dianggap terbuang namun ternyata memiliki
kegunaan, hidup mereka yang miskin dan tidak diperhatikan harus disadari tetap
memiliki aspek yang tidak dapat diabaikan begitu saja. Aspek itu tidak lain
adalah martabat kemanusiaannya dan panggilan kemuridannya. Dua hal ini adalah kekuatan
dasar yang mereka pakai untuk memperjuangkan hidupnya. Dua hal ini juga harus
menjadi kekuatan bagi mereka untuk melawan stigmatisasi masyarakat terhadap
hidup dan pekerjaan mereka.
5.
IMPLEMENTASI
PRAKTIS TEOLOGI SAMPAH
Teologi
sampah sebagai sebuah teologi kontekstual harus memiliki implementasi praktis
bagi sebuah karya pastoral. Di bawah ini kelompok menawarkan beberapa
implementasi praktis yang sekaligus menjadi anjuran kelompok terutama bagi
Gereja dan pemulung serta pemerintah.
5.1 Bagi Gereja
Gereja
dipanggil untuk menjadi pemulung. Gereja pemulung hadir menolong dan membela
para para pemulung dalam sebuah prinsip dasar yaitu subsidiaritas. Beberapa
pastoral konkret yang bisa dibuat oleh Gereja adalah: Pertama: memberdayakan
para pemulung melalui komisi PSE untuk pelatihan pembuatan barang-barang
berbahan dasar sampah sehingga para pemulung bukan lagi menjadi penjual barang
bekas atau sampah tetapi menjadi produsen industry kreatif. Kedua:
memberdayakan ekonomi para pemulung dengan sosialisasi yang intensif dan
berkelanjutan tentang koperasi. Ketiga: memberikan pencerahan spiritual
mengenai kemiskinan structural yang dihadapi para pemulun melalui katekese atau
ibadat Rosario dengan tema tentang kemiskinan. Keempat: Gereja dapat pula
memberi bantuan berupa barang-barang produktif untuk dikembangkan oleh para
pemulung demi peningkatan taraf hidup mereka. Pastoral konkret seperti ini
pada gilirannya menjadi kritikan pedas bagi pemerintah daerah yang mengabaikan
para pemulung ini. Dalam hal ini Gereja telah tampil menyuarakan suara
kenabiannya secara konkrit (tidak hanya tahu mengeritik pemerintah tapi juga
menawarkan dan mempraktekkan solusi kreatif).
5.2 Bagi Pemulung
Para
pemulung harus mampu menerima dengan tangan terbuka uluran tangan Gereja yang
menolong mereka. Mereka harus mampu memanfaatkan dengan semaksimal mungkin
bantuan Gereja dalam kolaborasi yang efektif dengan semangat kerja dan
ketekunan yang mereka miliki untuk meningkatkan taraf hidup mereka
5.3 Bagi Pemerintah
Orang-orang
yang menduduki kursi pemerintahan di Kabupaten Sikka adalah orang katolik.
Mereka juga harus sadar bahwa mereka adalah Gereja. Oleh karenanya mereka juga
dipanggil untuk menjadi pemulung bagi para pemulung. Karena jumlah para
pemulung di Wairii sangat sedikit, seharusnya pemerintah dapat mengalokasikan
dana khusus bagi pengembangan ekonomi kreatif para pemulung dalam mengolah
sampah menjadi barang-barang produktif.
[1] Para pemulung sebenarnya
tidak pernah makan siang, namun pada saat penelitian ini dibuat, peneliti
menyiapkan makan siang berupa pisang dengan ikan.
[2] Para peneliti sempat
mewawancarai beberapa warga sekitar kota Maumere terutama di wilayah pertokoan
pada tanggal 02 September 2015.
[3] Semua hal ini
merupakan pengakuan dari para pemulung yang kami wawancarai pada tanggal 02
September 2015.
[6] Martin Chen, Teologi Gustavo Gutierrez Refleksi dari
Praksis Kaum Miskin, (Kanisius: Jogjakarta, 2002), p. 52.
[7] Seperti pada poin A.4
di atas, para pemulung memilih berdasarkan alasan primordial. Pemerintah yang
terpilih nantinya tidak akan pernah memperhatikan mereka, selain karena alasan
kesukuan dan balas budi juga karena jumlah yang sangat sedikit maka pemerintah
merasa tidak perlu untuk diperhatikan dan mengabaikan kesejahteraan mereka.
[8] Gereja yang dimaksud
para peneliti adalah persekutuan umat Allah, jadi bukan dalam pengertian Gereja
hirarkis yang mereduksi Gereja hanya pada kaum tertahbis saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar