Rabu, 25 Oktober 2017

TEOLOGI SAMPAH : IMPLEMENTASI DARI KEHIDUPAN PARA PEMULUNG WAIRII
1.      GAMBARAN UMUM TENTANG PENELITIAN DAN KEHIDUPAN PARA PEMULUNG WAIRII
1.1  Gambaran Tentang Penelitian
Kami melakukan penelitian terhadap para pemulung Wairii (jumlah: 12 orang) pada tanggal 02 September 2015 dari pukul 08.00 sampai 15.WITA sesuai dengan jam kerja para pemulung. Metode yang kami gunakan adalah observasi partisipatif yaitu dengan bekerja bersama para pemulung dan juga dengan wawancara. Wawancara kami lakukan pada saat istirahat makan siang.[1]
1.2  Gambaran Tentang Lokasi
Para pemulung Wairii yang kami maksudkan dalam makalah ini adalah para pemulung yang bekerja di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang berlokasi di Wairii, sebuah lokasi yang terletak di perbukitan gersang sebelah selatan jala raya pantura. Bila dilihat dari sisi tilik wilayah administratif pemerintah, TPA ini berada di kelurahan Nangahure, kecamatan Alok Barat, kabupaten Sikka, namun bila dilihat dari sisi tilik wilayah administratif pelayanan Gereja, TPA ini terletak di wilayah Paroki Magepanda, namun para pemulung yang bekerja pada TPA ini berdomisili di sekitar stasi Waturia, Paroki Nangahure.
1.3  Gambaran Tentang Kesadaran Politik
Satu hal yang patut dibanggakan dari para pemulung wairii adalah keaktifan mereka dalam mengikuti setiap pesta demokrasi yang diselenggarakan baik untuk tingkat daerah maupun nasional. Namun, di balik kebanggaan itu terbersit sebuah keprihatinan besar yang cukup mengganggu yaitu keaktifan tersebut berangkat bukan dari sebuah kesadaran dan pengetahuan politik yang benar. Mereka memilih berdasarkan alasan kekeluargaan dan suku (primordial) dan diperparah oleh moral para politisi yang sangat rendah dengan yang mempraktekkan money politic. Kedua hal ini menyebabkan mereka tidak memilih pemimpin yang berkomitmen untuk membantu mereka keluar dari kemiskinannya.
1.5  Gambaran Tentang Relasi Sosial
Dalam kehidupan sehari-hari, para pemulung senantiasa membangun relasi sosial yang baik, baik di antara para pemulung sendiri maupun dengan para tetangga mereka yang bukan bekerja sebagai pemulung. Khusus terkait dengan relasi ke dalam, para pemulung terlebur dalam sebuah relasi kekeluargaan yang sangat kental, meskipun mereka datang dari tempat asal yang berbeda-beda. Hal ini menyebabkan mereka memiliki rasa solidaritas yang baik. Hal ini tercermin dari sikap saling menolong dalam menghadapi kesulitan-kesulitan hidup.

1.6  Gambaran Tentang Kehidupan Religius
Semua pemulung Wairii adalah umat paroki Nangahure. Dari pengakuannya, kami menemukan bahwa ternyata mereka adalah orang katolik yang taat beragama. Mereka tidak pernah bekerja pada hari minggu dan selalu menyempatkan diri untuk mengikuti perayaan ekaristi pada hari minggu. Di antara para pemulung bahkan ada yang menjadi pengurus dalam KBG. Selain itu mereka juga bertanggung jawab dalam menjalankan tugas-tugas yang diberikan pengurus stasi kepada mereka seperti menanggung koor pada perayaan-perayaan besar.
2.      PENILAIAN SEKILAS TENTANG KEHIDUPAN PARA PEMULUNG
2.1  “Yang Terbuang Justru Membawa Keuntungan”
Pekerjaan sebagai pemulung adalah sebuah pekerjaan yang menjijikkan bagi kebanyakan orang. Sebagai pekerjaan yang menjijikan banyak orang pula tidak pernah mengimpikan atau memilihnya sebagai sumber pendapatan bagi diri atau keluarganya. Seperti kebanyakan orang itu, para pemulung Wairii juga tidak pernah mengimpikan pekerjaan itu, namun karena situasi ekonomi keluarga yang sangat tidak menguntungkan maka mereka terpaksa memilih dan menekuni pekerjaan sebagai pemulung itu. Pilihan karena situasi terjepit memaksa mereka berusaha sekuat tenaga menyesuaikan diri dengan pekerjaan dan berusaha menepis cara pandang masyarakat yang menanggap pekerjaan sebagai pemulung sebagai pekerjaan yang hina.
Jika dilihat dari sudut pandang ekonomi, mereka kelihatan cukup kreatif dalam mencari nafkah bagi keluarganya. Kondisi alam dan cuaca yang tidak bersahabat yang membuat lahan pertanian mereka kering kerontang sehingga mereka tidak berdaya untuk mengolahnya tidak membuat mereka kehabisan akal untuk mencari pekerjaan yang mendatangkan uang. Kesulitan tidak mematahkan semangat mereka dalam mencari solusi atas permasalahan hidup yang senantiasa mendera. Pada titik ini, kami menilai justru kehadiran mereka menjadi satu bentuk kritikan pedis bagi para penganggur (baik yang nyata maupun terselubung) yang pasif dan tidak kreatif dalam mencari pekerjaan.
Di balik semua itu, satu poin penting yang tampak secara nyata dari pekerjaan para pemulung adalah bahwa yang terbuang oleh masyarakat (sampah) justru membawa keuntungan ekonomi. Sampah sebagai sesuatu yang tidak berguna sebenarnya masih memiliki kegunaan yang tidak disadari dan akhirnya membawa keuntungan ekonomis. Meskipun keuntungan ekonomisnya sangat kecil, para pemulung memanfaatkannya untuk menopang ekonomi keluarga yang terseok-seok diterpa penindasan terselubung kaum kapitalis. Keuntungan yang kecil ini tidak meredukan semangat mereka untuk terus bekerja tidak kenal lelah karena memang inilah satu pilihan terbaik bagi mereka untuk menopang hidup mereka dan anak-anak mereka.

2.2  Kebaikan Allah Yang Ditemukan Di Tempat Sampah
TPA Wairii merupakan tempat penampungan akhir seluruh sampah dari kota Maumere. Setiap hari ada sekitar tujuh buah truk sampah milik pemerintah mengangkut sampah dari seluruh pelosok kota Maumere ke tempat ini. Dari tujuh truk inilah para pemulung memperoleh barang-barang bekas (yang menurut kebanyakan orang sebagai sampah) yang akan dikumpulkan dan kemudian dijual untuk mendapatkan uang. Bagi kebanyakan orang, sampah adalah sesuatu yang sangat menjijikan dan tidak berguna, namun bagi para pemulung justru sampah meskipun menjijikan, namun membawa faedah bagi kehidupan mereka.
Menurut pengakuan beberapa warga kota Maumere, tempat sampah Wairii tidak banyak diketahui oleh warga kota Maumere. Mereka hanya mengenal truk pengangkut sampah, tapi tidak pernah mengetahui tujuan sampah-sampah itu dibuang dan juga tidak mengetahui bahwa ada orang yang mengais rejeki dari sampah yang mereka buang.[2] Dari pengakuan mereka jelas terlihat bahwa TPA Wairii dan juga para pemulung yang bekerja di dalamnya sama sekali tidak diperhitungkan oleh kebanyakan orang, namun para pemulung tidak pernah mempermasalahkan hal itu. Bagi mereka, meskipun banyak orang merasa sampah menjijikan, meskipun banyak orang tidak mengenal dan menaruh simpati pada nasib mereka, mereka tetap menekuni pekerjaannya karena mereka sadar bahwa Allah masih masih mencintai mereka dengan memenuhi kebutuhan hidup harian meskipun dengan susah payah.
Lebih jauh, para pemulung menyadari bahwa Allah memberi rejeki kepada mereka melalui sampah-sampah yang mereka kumpulkan itu. Mereka menemukan kenyataan bahwa Allah tetap mencintai mereka dengan memberikan cara halal untuk memperoleh uang demi memenuhi kebutuhan hidup mereka. Karena kesadaran inilah maka para pemulung senantiasa menyempatkan diri untuk bersyukur kepada Tuhan melalui perayaan ekaristi pada hari Minggu. Para Pemulung mengakui bahwa mereka memiliki kebiasaan untuk tidak bekerja pada hari Minggu. Selain untuk alasan istrirahat, para pemulung mengakui bahwa mereka sadar bahwa Allah yang sudah berbaik hati kepada mereka patut dipuji dan kebaikan Allah yang sudah diterima itu patut pula disyukuri pada setiap perayaan hari Minggu. Oleh karenanya tidak ada alasan yang terlalu masuk akal untuk tidak mengikuti perayaan ekaristi pada setiap hari Minggu dan hari raya lainnya.[3]


3.      CATATAN KRITIS ATAS KEHIDUPAN PARA PEMULUNG
3.1  Pemulung: Pekerjaan Yang Luhur Namun Tidak Menjanjikan
Dalam proses wawancara dengan para pemulung, para peneliti merasa kagum dengan kepolosan mereka dalam menceritakan tentang pekerjaan, kehidupan keluarga dan semua hal yang berkaitan dengan realitas hidupnya. Satu kepolosan yang cukup menarik dari para pemulung terungkap dari ucapannya:”frater kami senang dengan pekerjaan ini, meskipun sulit, kami tetap mendapat uang darinya”.[4]
Ungkapan di atas menggambarkan bahwa mereka cukup “in” dengan pekerjaannya karena mereka mendapat uang dari pekerjaan itu. Mereka menemukan keluhuran dan makna positif dari pekerjaan mereka. Para peneliti menyadari bahwa mereka sedikitnya telah mengimplikasikan poin penting yang dicetus oleh Paus Yohanes Paulus II dalam ensiklik Laborem Exercens.[5] Namun di balik semua itu para peneliti justru merasa prihatin dengan ungkapan ini. Keprihatinan peneliti muncul bukan karena para peneliti merasa jijik dengan pekerjaan mereka, namun karena peneliti menilai bahwa ungkapan tersebut berangkat dari kepasrahan dan keputusasaan mereka dalam perjuangan mendapatkan keadaan hidup yang lebih baik dan sejahtera.
Tabel a.3 di atas memperlihatkan suatu gambaran mengenai keadaan ekonomi keluarga para pemulung yang tidak sejahtera. Para peneliti menggambarkan keadaan ekonomi mereka dengan ungkapan ini: “besar pasak daripada tiang”, lebih besar pengeluaran daripada pemasukan. Pemasukan dan pendapatan yang kecil memaksa mereka untuk menggunakan semua pemasukan bulanan hanya untuk konsumsi semata. Ketika biaya sekolah anak yang menjadi prioritas, maka belanja makan minum dihentikan. Hal ini berarti mereka harus kelaparan. Keadaan ekonomi yang seperti itu sangat tidak menjanjikan sebuah masa depan yang baik dan sejahtera.
3.2  Para Pemulung Adalah Mereka Yang Terjerat Dalam Kemiskinan Struktural
Bila ditelaah dari penyebabnya, kemiskinan dapat dibedakan menjadi dua yaitu kemiskinan individual dan kemiskinan structural. Kemiskinan individual disebabkan oleh karena kemalasan, tidak kompetitif, tidak tekun dan tidak disiplin sedangkan kemiskinan structural disebabkan oleh kekuatan lain yang menindas atau dengan kata lain struktur social menjadi penyebab kemiskinan itu.[6] Berdasarkan telaah yang mendalam, peneliti menyimpulkan bahwa sesungguhnya para pemulung masuk dalam kelompok kemiskinan structural. Para pemulung menyadari sepenuhnya akan ketidakberuntungan mereka, namun mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Meskipun mereka memiliki semangat kerja yang tinggi, namun mereka tidak memiliki satu kekuatan untuk mengubah keadaan mereka. Ada kekuatan lain yang mengendalikan. Para peneliti justru menemukan bahwa kekuatan lain itulah yang menjadi akar masalah atau penyebab ketidakberuntungan mereka. Di bawah ini peneliti memaparkan beberapa kekuatan itu:
·          BIDANG EKONOMI EKONOMI
Penentu harga barang bekas yang dijual oleh para pemulung adalah “mas jawa” yang merupakan kaki tangan dari elit ekonomi di Maumere. Para pemulung tidak memiliki kekuatan untuk melobi atau menentukan standar harga. Harga sembako juga sangat ditentukan oleh pasar. Dalam keadaan seperti ini, para pemulung berada pada posisi yang sangat tidak menguntungkan
·         BIDANG POLITIK POLITIK
Berdasarkan pengakuan para pemulung, mereka hanya satu kali menerima bantuan pemerintah daerah yaitu pada tahun 2011. Bantuan yang diberikan bukan untuk hal produktif yang bisa membantu kegiatan ekonomi pemulung tetapi konsumtif (beras dan sari mie). Para pemulung menyadari bahwa karena jumlah mereka sangat sedikit, maka pemerintah tidak pernah memperhatikan mereka karena pemerintah memainkan politik balas budi.[7]
·         BIDANG RELIGIUS
Gereja memang tidak menjadi penyebab kemiskinan para pemulung, namun berdasarkan pengakuan para pemulung, Gereja tidak memiliki pastoral khusus bagi mereka. Mereka hanya mengikuti misa mingguan dan katekese namun berdasarkan tema yang ditentukan keuskupan dan paroki yang notabene kurang bersentuhan dengan masalah mereka. Dengan kata lain, Gereja tidak menyusun program yang menjawabi kebutuhan umat. Dalam hal ini peneliti menilai bahwa Gereja mengabaikan kawanan kecil gembalaannya yang sebenarnya membutuhkan pelayanan pastoral yang khas dan sesuai dengan situasi dan kondisi mereka.
3.3  Para Pemulung Adalah Korban Yang Harus Ditolong
Berdasarkan pemaparan tersebut di atas menjadi jelas bahwa para pemulung adalah orang-orang yang berada dalam situasi yang sangat memprihatinkan dan lebih memprihatinkan lagi bahwa mereka tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk menolong dirinya sendiri. Sampai pada titik ini, kelompok sampai pada kesimpulan bahwa mereka adalah korban dan korban yang harus ditolong. Siapa yang bisa menolong mereka?
Para pemulung adalah masyarakat Negara dan umat Gereja. Dari pernyataan ini jelas bahwa yang menolong mereka adalah Negara (pemerintah) dan Gereja. Namun pada makalah ini, peneliti hanya meneropong peran Gereja dalam menolong para pemulung yang adalah korban struktur yang menindas. Pada titik ini kembali muncul pertanyaan penting, bagaimanakah persisnya peran Gereja dalam membela dan menolong korban berhadapan dengan struktur yang memiliki kekuatan super?
4.      MENCARI MODEL TEOLOGI YANG COCOK BAGI PERJUANGAN PARA PEMULUNG
4.1  Perjuangan Para Pemulung Harus Didukung Sepenuhnya Oleh Gereja[8]
Kemiskinan yang dialami para pemulung adalah wujud nyata dari sebuah bentuk penindasan pada zaman modern. Mereka adalah korban dari sebuah bentuk penindasan terselubung. Gereja dipanggil untuk mendukung dan membela mereka. Ada dua landasan bagi dukungan yang menjadi panggilan bagi Gereja  dalam konteks masalah ini:
Landasan Biblis
Kemiskinan yang disebabkan oleh kekuatan lain yang menindas sebenarnya sudah mulai terjadi dunia ini sejak perjanjian lama. Ada banyak contoh yang bisa diambil, namun salah satu perikop Perjanjian Lama yang menggambarkan hal ini adalah Ayub 24:2-12 (Sikap Allah terhadap kejahatan). Berhadapan dengan realitas penindasan yang melahirkan korban yang miskin, Gereja dipanggil untuk membela mereka. Selanjutnya Ams 2:6-22 (Faedah dari menuntut hikmat) memberi penguatan bagi Gereja dalam karya kerasulannya membela kaum tertindas. Gereja telah mendapat hikmat dan pengetahuan yang baik dan menjadi penjaga moral, karena itu Gereja tahu dengan baik mana hal-hal yang benar dan mana yang jahat. Gereja, berdasarkan hikmat dan kebijaksanaan moral yang dimilikinya diminta untuk menyuarakan kebenaran itu untuk membela kaum yang lemah.[9] Gereja dipanggil untuk menyerukan suara profetisnya mengeritik kejahatan dan sekaligus membela korban dengan sekuat tenaganya sebagai perwujudan imannya.
Selanjutnya, dalam Perjanjian Baru, Yesus memperkuat panggilan Gereja untuk membela kaum miskin dan tertindas. Yesus mengamini nubuat nabi Yesaya tentang perutusan-Nya ke dunia ini untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin (Lukas 4:18). Gereja sebagai persekutuan orang yang mengimani Kristus pun harus meneladani Kristus. Gereja dipanggil untuk membawa kabar baik kepada orang-orang miskin. (eksegeses tentang kabar baik)Semua hal ini menjadi sebuah perwujudan iman akan Yesus yang konkret.
Namun, dalam perjalanan hidupnya Gereja seringkali jatuh perwujudan iman yang keliru yaitu perbuatan amal yang memandang bulu. Rasul Yakobus dalam suratnya (Yak 2:1-13) mengeritik hal ini. Pelayanan tidak pernah boleh memandang muka. Gereja dipanggil untuk melayani semua orang tanpa perlu memandang stasus social dan keadaan ekonomi seseorang. Dalam hal ini martabat kaum miskin diangkat pada tataran yang luhur. Kaum miskin adalah juga murid Kristus yang karena eksistensinya sebagai manusia wajib dicintai. Inilah wujud iman yang benar.
Landasan Ajaran Sosial Gereja
Panggilan Gereja untuk mendukung dan membela kaum miskin juga mendapat perhatian lebih dalam beberapa dokumen Ajaran Sosial Gereja. Dalam paper ini kelompok merasa tertarik dengan pernyataan Lumen Gentium Art. 1 yang menegaskan, kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga.[10] Kelompok berpikir bahwa ini menjadi salah satu landasan yang kokoh bagi perjuangan Gereja mendukung dan membela kaum miskin. Para murid Kristus (Gereja) dipanggil untuk turut merasakan apa yang dirasakan oleh dunia, oleh orang-orang yang hidup di dunia ini. Paus Fransiskus sangat nyata mendukung panggilan Gereja untuk keluar dari kemapaman diri untuk turun ke jalan-jalan menemui fakir miskin. Paus Fransiskus mengatakan: “…….” Gereja diharapkan tidak menjadi sebuah menara gading yang terlepas dan menghindar dari persoalan-persoalan masyarakat dunia dewasa ini, tetapi Gereja yang kotor dan kumuh karena bergaul dan hidup bersama kaum miskin dan memperjuangkan nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan bersama dengan mereka.
Landasan biblis dan Ajaran Sosial Gereja di atas menjadi spirit yang menguatkan dan menyemangati Gereja dalam aksi option for the poor. Spirit yang membara dalam membela dan mendukung kaum miskin ini diharapkan pada gilirannya melahirkan tindakan-tindakan konkret sebagai wujud bantuan yang adalah implementasi dari rasa solidaritas yang nyata.
4.2  Para Pemulung Tidak Hanya Boleh Berharap Tapi Harus Berjuang
Bantuan yang merupakan implementasi nyata dari solidaritas Gereja merupakan sesuatu yang menjadi keharusan bagi Gereja. Gereja dalam hal ini telah menjadi pribadi Kristus yang hadir langsung memberikan bantuan dan pertolongan. Dalam hal ini perlu disadari bahwa Gereja hadir menolong bukan dalam relasi Subyek-Obyek, tetapi dalam relasi Subyek-Subyek. Kaum miskin tidak pernah boleh dianggap sebagai obyek yang seolah-olah tidak memiliki daya dan upaya untuk menolong dirinya sendiri. Gereja harus hadir sebagai rekan yang menolong kaum miskin yaitu rekan semartabat yang masih berada dalam posisi yang kurang menguntungkan. Gereja harus menyadari bahwa kaum miskin adalah rekan yang memiliki martabat yang sama karena eksistensi kemanusiaannya dan karena panggilaan kemuridannya. Dalam hal ini, untuk mewujudkan rasa solidaritasnya Gereja menggunakan prinsip subsidiaritas.
Menjalankan prinsip subsidiaritas berarti menghargai kapabilitas setiap individu atau kelompok dalam masyarakat untuk mengatasi masalahnya sendiri dengan usahanya sendiri dan Gereja hadir memberi bantuan seperlunya.[11] Peran Gereja dalam hal ini terutama untuk memberi pencerahan dan pemahaman mengenai situasi penindasan yang mereka alami. Setelah mereka paham akan situasi mereka, Gereja memberi semangat untuk mengatasi masalah mereka dengan menggunakan segala potensi yang mungkin untuk dimanfaatkan. Pencerahan ini dilakukan seraya memberikan solusi-solusi kreatif yang dapat diambil untuk menata kehidupan yang lebih baik.
Prinsip subsidiaritas ini diharapkan menjadi sarana penyadaran bagi para pemulung bahwa mereka sebenarnya masih memiliki kekuatan dan potensi untuk keluar dari situasi kemiskinan yang dihadapinya. Menurut peneliti, kesadaran seperti ini pada akhirnya menghapus atau menghilangkan sikap pasrah pada keadaan karena menganggap bahwa keadaan mereka tidak tertolong lagi sehingga tidak ada pilihan lain selain menjadi pemulung yang miskin.
Dalam penelitiannya, kelompok menemukan beberapa hal positif yang ada dalam diri para pemulung yaitu semangat kerja yang tinggi, ketekunan, keuletan, kerja sama dan tidak mudah mengeluh. Beberapa hal positif ini adalah potensi dan kekuatan yang menjadi modal bagi Gereja untuk mengimplementasikan solidaritasnya melalui prinsip subsidiaritasnya. Para pemulung sudah memiliki hal-hal positif dan Gereja hadir memberikan solusi kreatif yang memanfaatkan modal dasar ini dalam perjuangan bersama para pemulung mengubah keadaan hidup mereka yang miskin.
4.3  Sampah Menjadi Dasar Pijak Berteologi (Teologi Sampah)
Dua poin yang telah dipaparkan di atas menyoroti dua subyek penting dalam sebuah teologi kontekstual yaitu Gereja dan pemulung sendiri, teologi yang menggambarkan bagaimana Gereja memainkan perannya untuk membela para pemulung. Konteks yang menjadi ciri dan sekaligus menjadi warna khas dalam relasi kedua subyek  itu adalah pekerjaan pemulung yang tidak lepas dari sampah. Sampah dalam hal ini memainkan peran penting. Karena sampah adalah pemberi warna dasar bagi teologi dalam konteks pemulung Wairii, maka peneliti dengan berani menyodorkan sebuah model berteologi dengan nama Teologi Sampah. Menurut hemat kelompok, sampah adalah dasar pijak refleksi teologi yang dapat dengan muda dipahami oleh para pemulung. Dengan demikian refleksi teologis yang dijalankan oleh para peneliti dengan mudah dipahami oleh para pemulung dan dengan mudah pula mereka berteologi dalam konteks perjuangan hidupnya.
Teologi Sampah ini memiliki dua implikasi penting bagi dua subyek yang berada dalam relasi komplementer. Dua Implikasi tersebut digambarkan sebagai berikut
Bagi gereja
Gereja dipanggil untuk membela dan menolong kaum miskin dan kaum yang tertindas serta yang terbuang dari masyarakat. Dalam konteks Teologi Sampah, kaum tertindas, kaum miskin dan kaum yang terbuang dari masyarakat adalah para pemulung Wairii. Gereja dipanggil untuk menolong dan membela mereka mereka. Dalam konteks para pemulung ini, Gereja dipanggil untuk menjadi pemulung. Pemulung dalam pandangan masyarakat adalah pekerjaan hina namun Gereja harus menjadikannya sebagai opsi utama. Gereja harus meninggalkan status quo dan kenyamanan untuk menolong dan membela para pemulung yang dianggap sebagai “sampah” oleh kebanyakan orang lantaran hinanya pekerjaan mereka.
Bagi pemulung
Sampah adalah bagian yang tidak pernah terlepas dari kehidupan para pemulung. Meskipun masyarakat menganggap sampah itu tidak memiliki faedahnya sama sekali, namun bagi para pemulung sampah itu menjadi sumber uang yang bisa menghidupi keluarga mereka. Kesadaran ini bisa diimplementasikan secara langsung dalam pemahaman para pemulung. Seperti sampah yang dianggap terbuang namun ternyata memiliki kegunaan, hidup mereka yang miskin dan tidak diperhatikan harus disadari tetap memiliki aspek yang tidak dapat diabaikan begitu saja. Aspek itu tidak lain adalah martabat kemanusiaannya dan panggilan kemuridannya. Dua hal ini adalah kekuatan dasar yang mereka pakai untuk memperjuangkan hidupnya. Dua hal ini juga harus menjadi kekuatan bagi mereka untuk melawan stigmatisasi masyarakat terhadap hidup dan pekerjaan mereka.
5.      IMPLEMENTASI PRAKTIS TEOLOGI SAMPAH
Teologi sampah sebagai sebuah teologi kontekstual harus memiliki implementasi praktis bagi sebuah karya pastoral. Di bawah ini kelompok menawarkan beberapa implementasi praktis yang sekaligus menjadi anjuran kelompok terutama bagi Gereja dan pemulung serta pemerintah.
5.1  Bagi Gereja
Gereja dipanggil untuk menjadi pemulung. Gereja pemulung hadir menolong dan membela para para pemulung dalam sebuah prinsip dasar yaitu subsidiaritas. Beberapa pastoral konkret yang bisa dibuat oleh Gereja adalah: Pertama: memberdayakan para pemulung melalui komisi PSE untuk pelatihan pembuatan barang-barang berbahan dasar sampah sehingga para pemulung bukan lagi menjadi penjual barang bekas atau sampah tetapi menjadi produsen industry kreatif. Kedua: memberdayakan ekonomi para pemulung dengan sosialisasi yang intensif dan berkelanjutan tentang koperasi. Ketiga: memberikan pencerahan spiritual mengenai kemiskinan structural yang dihadapi para pemulun melalui katekese atau ibadat Rosario dengan tema tentang kemiskinan. Keempat: Gereja dapat pula memberi bantuan berupa barang-barang produktif untuk dikembangkan oleh para pemulung demi peningkatan taraf hidup mereka. Pastoral konkret seperti ini pada gilirannya menjadi kritikan pedas bagi pemerintah daerah yang mengabaikan para pemulung ini. Dalam hal ini Gereja telah tampil menyuarakan suara kenabiannya secara konkrit (tidak hanya tahu mengeritik pemerintah tapi juga menawarkan dan mempraktekkan solusi kreatif).
5.2  Bagi Pemulung
Para pemulung harus mampu menerima dengan tangan terbuka uluran tangan Gereja yang menolong mereka. Mereka harus mampu memanfaatkan dengan semaksimal mungkin bantuan Gereja dalam kolaborasi yang efektif dengan semangat kerja dan ketekunan yang mereka miliki untuk meningkatkan taraf hidup mereka
5.3  Bagi Pemerintah
Orang-orang yang menduduki kursi pemerintahan di Kabupaten Sikka adalah orang katolik. Mereka juga harus sadar bahwa mereka adalah Gereja. Oleh karenanya mereka juga dipanggil untuk menjadi pemulung bagi para pemulung. Karena jumlah para pemulung di Wairii sangat sedikit, seharusnya pemerintah dapat mengalokasikan dana khusus bagi pengembangan ekonomi kreatif para pemulung dalam mengolah sampah menjadi barang-barang produktif.



[1] Para pemulung sebenarnya tidak pernah makan siang, namun pada saat penelitian ini dibuat, peneliti menyiapkan makan siang berupa pisang dengan ikan.
[2] Para peneliti sempat mewawancarai beberapa warga sekitar kota Maumere terutama di wilayah pertokoan pada tanggal 02 September 2015.
[3] Semua hal ini merupakan pengakuan dari para pemulung yang kami wawancarai pada tanggal 02 September 2015.
[4]
[5]
[6] Martin Chen, Teologi Gustavo Gutierrez Refleksi dari Praksis Kaum Miskin, (Kanisius: Jogjakarta, 2002), p. 52.
[7] Seperti pada poin A.4 di atas, para pemulung memilih berdasarkan alasan primordial. Pemerintah yang terpilih nantinya tidak akan pernah memperhatikan mereka, selain karena alasan kesukuan dan balas budi juga karena jumlah yang sangat sedikit maka pemerintah merasa tidak perlu untuk diperhatikan dan mengabaikan kesejahteraan mereka.
[8] Gereja yang dimaksud para peneliti adalah persekutuan umat Allah, jadi bukan dalam pengertian Gereja hirarkis yang mereduksi Gereja hanya pada kaum tertahbis saja.
[9]
[11] Bukan kapitalisme, bukan sosialisme

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LOVE EACH OTHER Rangkaian bunga, boneka, cokelat dengan tema Hari Kasih Sayang (Valentine's Day) terlihat indah dan penuh ci...