DESEMBER KELABU
Ignaz Tuah Rino, S.FIL
25 Desember
2013 terlalu mencekam diriku ketika kuingat kembali.
Di samping
jendela kayu kududuk di atas kursi tua sambil menatap cahaya sang surya yang
menyinari penghuni alam semesta ini. Burung-burung dan pepohonan merasakan
kebahagian itu. Pohon memberikan cabang dan rantingnya untuk beberapa ekor
burung yang datang menghinggapinya. Burung-burung pun terus berkicauan di antara
mereka.
Terdengar
alunan musik syahdu dan merdu yang tertangkap oleh telingaku. Tiba-tiba saja
tak disadari air mataku jatuh berlinang ketika aku mendengarkan alunan musik
tersebut. “Oh Tuhan..........Kenapa ini bisa terjadi dan kenapa memoriku
terulang kembali ??” Aku tak bisa menahan perasaan dan air mataku. Jika satu
tahun lalu tidak terjadi mungkin aku tidak seperti sekarang ini.
Sebenarnya
kejadian itu telah hilang dalam memoriku. Namun aku tak bisa menghapus kejadian
itu dalam pikiranku. “Bapak......Mama......maafkan aku seandainya kalian masih
hidup tentu aku tidak mengalami kesedihan yang berkelanjut” seruku.
25 Desember
2013 tercatat dalam catatan harianku. Bulan kelabu, bulan yang penuh duka
bagiku dan keluargaku. Orang lain mengalami kebahagian karena bisa merayakan
atau bisa menyambut kedatangan bayi Yesus yang lahir ke dunia. Tetapi aku....??
25 Desember 2013 kukatakan bulan
kelabu dan bulan penuh duka. Saat itulah aku seperti tersambar badai besar yang
menghancurkan diriku. 25 Desember 2013 adalah pembunuh kedua orangtuaku. Aku
benci dengan tanggal, bulan, dan tahun itu.
Aku mencoba menjauh dari suara alunan
musik tersebut dan pergi ke kamarku. Jendela dan pintu kamar kututup
rapat-rapat agar suara musik tersebut
tidak membuka memoriku kembali. Tak bisa kusembunyikan perasaan ini. Air
mataku terus berlinang membasahi wajahku. Aku tak bisa menghentikan air mata
ini.
Di atas meja belajar, aku menemukan
beberapa lembar foto kedua orangtuaku. Foto-foto itu membuat aku menangis histeris.
Tak tahan aku memandang foto-foto mereka. Pada salah satu foto itu tepatnya di
belakang foto itu aku menemukan beberapa kalimat yang ditulis oleh ibuku, ia
menulis:
“Tuhan......Engkau telah mempersatukan diriku dengan suamiku. Aku bangga
mempunyai suami seperti dia. Berikanlah dia pekerjaan yang baik untuk kami.
Tuhan sebentar lagi bayi mungil yang ada di dalam kandunganku ini akan hadir di
dalam kehidupan kami. Jadikanlah dia sebagai anak yang baik dan berbakti kepada
kami dan keluarga. Melalui perantaraan Santo Yosep kuserahkan keluargaku.”
Foto-foto tersebut kuletakan di atas
meja tempat aku berdoa. Di dalam doa kusebut nama mereka.
Tok......tok.....tok.......
tiba-tiba saja aku
mendengar suara dari balik pintu. Aku menghampiri pintu itu dan mulai
membukanya. Ternyata paman dan bibi ku sekeluarga bersilahturahmi ke rumahku.
Kusambut kedatangan mereka dengan senyum walaupun senyuman itu menyelimuti
kesedihanku. Kedatangan mereka ingin mengajak diriku berlibur di kampung tempat
dimana ayahku dilahirkan, dibesarkan, dan disemayamkan. Dengan besar hati aku
pun menerima ajakan mereka. Sebenarnya mereka tahu apa yang aku rasakan
sekarang ini.
Sebuah
mobil kecil berwarna silver mengantar kami ke sebuah desa. Desa itu terlalu
sejuk dan sunyi. Seorang lelaki tua dengan tongkat ditangannya berdiri
menyambut kedatangan kami. Lelaki tua
yang kukenal itu adalah kakekku. Tujuh puluh tiga tahun umur lelaki tua itu.
Kakekku merasa senang dengan kedatangan kami.
Ayahku
adalah anak kelima (anak bungsu). Ayahku walaupun sebagai anak bungsu dia
sangat disayang, dipuji dan dikagumi oleh saudara-saudarinya. Paman dan bibiku
pernah mengatakan bahwa ayahku adalah anak yang paling pintar di sekolah.
Beberapa penghargaan pernah diraihnya.
Di
ruang tengah, sambil mengelilingi meja bundar yang terbuat dari kaca kami duduk
bercerita. Sementara kami bercerita, seorang gadis cantik datang menghampiri
kami dengan membawa beberapa cangkir kopi dan teh hangat dan sebungkus kue.
Piring kaca mungil sebagai alas cangkir berbunyi nyaring saat bersentuhan
dengan meja kaca itu. Senyuman manis gadis itu menambah kebahagiaanku.
Silahkan
minum dan kuenya dimakan. Maaf jika kurang manis bisa ditambah sendiri kopinya
sesuai selera kalian. Jawab gadis itu dengan senyumannya. Gadis itu sederhana
tetapi anggun. Pandanganku lekat pada gadis manis itu sebelum akhirnya ia
tersenyum lagi, lalu pergi meninggalkan kami. Sejenak kuberpikir mungkin gadis
itu sebagai kembang desa yang diidam-idamkan oleh kaum muda desa itu.
Aku
sempat bertanya kepada kakekku mengenai gadis itu. Ternyata kakekku mengatakan
bahwa kedua orang tua gadis itu sudah meninggal satu tahun yang lalu. Peristiwa
kematian kedua orangtua gadis itu pun sama dengan kedua orangtuaku, hanya
berbeda tanggal; kedua orangtuaku 25 Desember 2013 sedangkan kedua orangtua
gadis itu 31 Desember 2013. Aku sangat terkejut mendengarnya. Kenapa bulan Desember
2013 menjadi bulan kelabu untuk kami.
Kala
malam purnama datang, disekeliling halaman rumah kakekku terdengar suara
jangkrik. Di teras depan rumah kakekku kami saling berdiskusi tentang hari-hari
hidup kami. Perasaan sedih yang kualami seolah-olah pergi begitu saja. Malam
itu semuanya begitu indah.
Hingga
sang surya terbit dan burung-burung mulai menampakkan diri.......
Aku
segera bangun dari tempat tidurku seolah-olah bagaikan api menyambar tempat
tidurku. Aku segera berlari menemui pamanku dan mengajak mereka pergi ke tempat
orangtuaku disemayamkan.
Beberapa
cahaya lilin menerangi makam kedua orangtuaku dan wangi-wangian bunga
memberikan keharuman pada makam tersebut.
“Maafkan
aku Ayah ibu,” rasanya dadaku terlalu sesak untuk mengungkapkan apa yang ingin
kuungkapkan dan aku tak dapat menahan atau menghentikan air mataku ini. Air
mataku jatuh membasahi batu nisan mereka. Bagiku itu adalah tanda bahwa aku tak
pernah melupakan mereka. Bayangkanlah tak satupun dari kami yang tidak menangis
melihat penderitaan yang kualami. Betapa menyedihkan..........
Tak
terasa sinar dan panas mentari sudah berada di atas kepala kami. Paman menepuk pundakku
tiga kali. Itu adalah isyarat untuk mengajakku pulang. Berat rasanya kaki ini
untuk melangkah. Orangtua itu tampaknya maklum dengan penderitaanku ini. Di
depan kedua makam kedua orangtuaku aku hanya bisa mengatakan: “Ayah dan ibu
semoga kalian merasa bahagia di sana walaupun aku di sini terus sedih saat
kalian pergi meninggalkanku satu tahun lalu”. Aku tertunduk penuh penyesalan.
Aku ingin jujur kepada orangtuaku, bahwa sesungguhnya aku membenci 25 Desember
2013. Itulah Desember kelabu bagiku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar