Kamis, 26 Oktober 2017

DESEMBER KELABU


DESEMBER KELABU
Ignaz Tuah Rino, S.FIL

            25 Desember 2013 terlalu mencekam diriku ketika kuingat kembali.
            Di samping jendela kayu kududuk di atas kursi tua sambil menatap cahaya sang surya yang menyinari penghuni alam semesta ini. Burung-burung dan pepohonan merasakan kebahagian itu. Pohon memberikan cabang dan rantingnya untuk beberapa ekor burung yang datang menghinggapinya. Burung-burung pun terus berkicauan di antara mereka.
            Terdengar alunan musik syahdu dan merdu yang tertangkap oleh telingaku. Tiba-tiba saja tak disadari air mataku jatuh berlinang ketika aku mendengarkan alunan musik tersebut. “Oh Tuhan..........Kenapa ini bisa terjadi dan kenapa memoriku terulang kembali ??” Aku tak bisa menahan perasaan dan air mataku. Jika satu tahun lalu tidak terjadi mungkin aku tidak seperti sekarang ini.
            Sebenarnya kejadian itu telah hilang dalam memoriku. Namun aku tak bisa menghapus kejadian itu dalam pikiranku. “Bapak......Mama......maafkan aku seandainya kalian masih hidup tentu aku tidak mengalami kesedihan yang berkelanjut” seruku.
            25 Desember 2013 tercatat dalam catatan harianku. Bulan kelabu, bulan yang penuh duka bagiku dan keluargaku. Orang lain mengalami kebahagian karena bisa merayakan atau bisa menyambut kedatangan bayi Yesus yang lahir ke dunia. Tetapi aku....??
25 Desember 2013 kukatakan bulan kelabu dan bulan penuh duka. Saat itulah aku seperti tersambar badai besar yang menghancurkan diriku. 25 Desember 2013 adalah pembunuh kedua orangtuaku. Aku benci dengan tanggal, bulan, dan tahun itu.
Aku mencoba menjauh dari suara alunan musik tersebut dan pergi ke kamarku. Jendela dan pintu kamar kututup rapat-rapat agar suara musik tersebut  tidak membuka memoriku kembali. Tak bisa kusembunyikan perasaan ini. Air mataku terus berlinang membasahi wajahku. Aku tak bisa menghentikan air mata ini.
Di atas meja belajar, aku menemukan beberapa lembar foto kedua orangtuaku. Foto-foto itu membuat aku menangis histeris. Tak tahan aku memandang foto-foto mereka. Pada salah satu foto itu tepatnya di belakang foto itu aku menemukan beberapa kalimat yang ditulis oleh ibuku, ia menulis:
“Tuhan......Engkau telah mempersatukan diriku dengan suamiku. Aku bangga mempunyai suami seperti dia. Berikanlah dia pekerjaan yang baik untuk kami. Tuhan sebentar lagi bayi mungil yang ada di dalam kandunganku ini akan hadir di dalam kehidupan kami. Jadikanlah dia sebagai anak yang baik dan berbakti kepada kami dan keluarga. Melalui perantaraan Santo Yosep kuserahkan keluargaku.”
Foto-foto tersebut kuletakan di atas meja tempat aku berdoa. Di dalam doa kusebut nama mereka.
            Tok......tok.....tok.......
tiba-tiba saja aku mendengar suara dari balik pintu. Aku menghampiri pintu itu dan mulai membukanya. Ternyata paman dan bibi ku sekeluarga bersilahturahmi ke rumahku. Kusambut kedatangan mereka dengan senyum walaupun senyuman itu menyelimuti kesedihanku. Kedatangan mereka ingin mengajak diriku berlibur di kampung tempat dimana ayahku dilahirkan, dibesarkan, dan disemayamkan. Dengan besar hati aku pun menerima ajakan mereka. Sebenarnya mereka tahu apa yang aku rasakan sekarang ini.
            Sebuah mobil kecil berwarna silver mengantar kami ke sebuah desa. Desa itu terlalu sejuk dan sunyi. Seorang lelaki tua dengan tongkat ditangannya berdiri menyambut kedatangan kami.  Lelaki tua yang kukenal itu adalah kakekku. Tujuh puluh tiga tahun umur lelaki tua itu. Kakekku merasa senang dengan kedatangan kami.
            Ayahku adalah anak kelima (anak bungsu). Ayahku walaupun sebagai anak bungsu dia sangat disayang, dipuji dan dikagumi oleh saudara-saudarinya. Paman dan bibiku pernah mengatakan bahwa ayahku adalah anak yang paling pintar di sekolah. Beberapa penghargaan pernah diraihnya.
            Di ruang tengah, sambil mengelilingi meja bundar yang terbuat dari kaca kami duduk bercerita. Sementara kami bercerita, seorang gadis cantik datang menghampiri kami dengan membawa beberapa cangkir kopi dan teh hangat dan sebungkus kue. Piring kaca mungil sebagai alas cangkir berbunyi nyaring saat bersentuhan dengan meja kaca itu. Senyuman manis gadis itu menambah kebahagiaanku.
            Silahkan minum dan kuenya dimakan. Maaf jika kurang manis bisa ditambah sendiri kopinya sesuai selera kalian. Jawab gadis itu dengan senyumannya. Gadis itu sederhana tetapi anggun. Pandanganku lekat pada gadis manis itu sebelum akhirnya ia tersenyum lagi, lalu pergi meninggalkan kami. Sejenak kuberpikir mungkin gadis itu sebagai kembang desa yang diidam-idamkan oleh kaum muda desa itu.
            Aku sempat bertanya kepada kakekku mengenai gadis itu. Ternyata kakekku mengatakan bahwa kedua orang tua gadis itu sudah meninggal satu tahun yang lalu. Peristiwa kematian kedua orangtua gadis itu pun sama dengan kedua orangtuaku, hanya berbeda tanggal; kedua orangtuaku 25 Desember 2013 sedangkan kedua orangtua gadis itu 31 Desember 2013. Aku sangat terkejut mendengarnya. Kenapa bulan Desember 2013 menjadi bulan kelabu untuk kami.
            Kala malam purnama datang, disekeliling halaman rumah kakekku terdengar suara jangkrik. Di teras depan rumah kakekku kami saling berdiskusi tentang hari-hari hidup kami. Perasaan sedih yang kualami seolah-olah pergi begitu saja. Malam itu semuanya begitu indah.
            Hingga sang surya terbit dan burung-burung mulai menampakkan diri.......

            Aku segera bangun dari tempat tidurku seolah-olah bagaikan api menyambar tempat tidurku. Aku segera berlari menemui pamanku dan mengajak mereka pergi ke tempat orangtuaku disemayamkan.
            Beberapa cahaya lilin menerangi makam kedua orangtuaku dan wangi-wangian bunga memberikan keharuman pada makam tersebut.
           
            “Maafkan aku Ayah ibu,” rasanya dadaku terlalu sesak untuk mengungkapkan apa yang ingin kuungkapkan dan aku tak dapat menahan atau menghentikan air mataku ini. Air mataku jatuh membasahi batu nisan mereka. Bagiku itu adalah tanda bahwa aku tak pernah melupakan mereka. Bayangkanlah tak satupun dari kami yang tidak menangis melihat penderitaan yang kualami. Betapa menyedihkan..........

            Tak terasa sinar dan panas mentari sudah berada di atas kepala kami. Paman menepuk pundakku tiga kali. Itu adalah isyarat untuk mengajakku pulang. Berat rasanya kaki ini untuk melangkah. Orangtua itu tampaknya maklum dengan penderitaanku ini. Di depan kedua makam kedua orangtuaku aku hanya bisa mengatakan: “Ayah dan ibu semoga kalian merasa bahagia di sana walaupun aku di sini terus sedih saat kalian pergi meninggalkanku satu tahun lalu”. Aku tertunduk penuh penyesalan. Aku ingin jujur kepada orangtuaku, bahwa sesungguhnya aku membenci 25 Desember 2013. Itulah Desember kelabu bagiku.
           
             
           


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LOVE EACH OTHER Rangkaian bunga, boneka, cokelat dengan tema Hari Kasih Sayang (Valentine's Day) terlihat indah dan penuh ci...